Laman

selamat datang

selamat datang di blog fotografi

Selasa, 24 Mei 2011

LAPANGAN UDARA PALIBELO

Perjanjian Bongaya yang bersejarah itu sama sekali tidak berhasil menaklukan Sultan Bima Abdul Khair Sirajuddin dengan Karaeng Bonto Maranu. Dua pejuang yang seharusnya menjadi Pahlawan Nasional itu terpaksa bergerilya untuk melawan kekuasaan Kompeni. Admiral C. Speelman sama sekali tidak berhasil mengurung Abdul Khair Sirajuddin.

Bahkan sebaliknya yang terjadi. Karaeng Bonto Maranu dengan sisa lasykarnya yang dari Gowa mendirikan basis untuk melanjutkan perang gerilya dengan Kompeni di pesisir selatan teluk Bima. Sementara di laut flores, pasukan Abdul Khair Sirajuddin terus mengganggu lalu lintas perdagangan kompeni di luar Jawa dan laut Flores. Kapal Dagang Kompeni yang berlayar di perairan itu dirompak. Kompeni kehilangan akal dan kendali.
Lasykar Gerilya itu disebut Tabelo. Tapi pada perkembangan berikutnya menjadi Pabelo. Lama kelamaan pengucapan dan penyebutan masyarakat menjadi berubah sehingga bernama Palibelo ( Pali = Lapangan, Belo adalah potongan kata Tabelo atau Pabelo). Pada masa pendudukan Jepang Palibelo menyimpan romantika dan kenangan sejarah yang paling pahit. Untuk persiapan pendaratan pesawat-pesawat tempur Jepang, hamparan tanah di palibelo dijadikan landasan. Warga Bima dan sekitarnya dikerahkan untuk Romusha. Korban berjatuhan dan tak terhitung jumlahnya karena kelelahan dan kelaparan. Namun sisa-sisa darah parah syuhada itu pada masa kemerdekaan menjadi lapangan udara.
Kini Palibelo menjadi salah satu dari 18 kecamatan di Kabupaten Bima hasil pemekaran kecamatan sejak tahun 2006. Dan di kecamatan Palibelo inilah membentang Bandara Udara Muhammad Salahuddin. Nama sultan Bima yang terakhir yang telah mengorbankan segenap usianya untuk Kemerdekaan Indonesia. Disamping terkenal dengan Bandaranya, kecamatan Palibelo juga dikenal dengan produksi bandeng dari tambak-tambak rakyat. Salah satu yang menjadi makanan Favorit dan oleh-oleh warga dan para tamu adalah Bandeng Presto dan Bandeng Bakar di warung-warung makan de depan atau sebelah Timur Bandara Muhammad Salahuddin Bima.
DARI BERBAGAI SUMBER

porfolio foto





Minggu, 22 Mei 2011

warisan aksara Bima - NTB yang telah hilang, kini telah kembali

Sejarah mencatat bahwa Bima memiliki Aksara yang pernah dipakai oleh masyarakat Bima ratusan tahun yang lalu. Hal ini tentunya merupakan sebuah kelalaian sejarah karena warisan yang berharga itu sempat hilang dan sebagian ada di negeri Belanda. Namun berkat kegigihan Hj. Siti Maryam Rachmat M. Salahuddin (Puteri dari Sultan Muhammad Salahuddin Bima), naskah Aksara Bima itu kembali ditemukan.

Menurut Ina Ka’u Mari (panggilan Akrabnya), pada sekitar tahun 1987 beliau menemukan satu naskah di Perpustakaan Museum Nasional RI di Jakarta dalam bentuk selembar dokumen yang merupakan hasil dari laporan perjalanan seorang peneliti Belanda yang bernama Zolinger. Peneliti Belanda itu memang pernah melakukan perjalanan ke Bima dan Sumbawa pada bulan Mei hingga Desember 1847. Dokumen tersebut berjudul Bahasa Bima Yang Telah Hilang. Aksara Bima juga ditulis dalam Buku RAFFLES yang berjudul THE HISTORY OF JAVA(1878). Lalu pada tahun 1990 hingga 1991, seorang guru besar dari Universitas Leiden Belanda yang juga seorang ahli bahasa dan aksara Bugis bernama J.Noorduyn datang ke Mataram dengan tujuan khusus bertemu dengan Ina Ka’u Mari untuk memperlihatkan dokumen foto kopi dokumen yang kala itu tertulis di atas lontar yang tersimpan rapi di Leiden.

Aksara dalam dokumen yang ditemukannya tersebut, bukan Aksara Bugis dan peneliti itu tidak bisa membacanya. Setelah itu dilakukan penelitian yang intensif dan ternyata yang dibawa Noorduyn itu adalah Aksara Bima yang kebetulan juga ada sebagian aksara yang masih tercecer di Museum Samparaja Bima maupun di Museum Nasional RI Jakarta. Hasilnya huruf-huruf dalam naskah itu dipadukan dan dikaji satu persatu di Universitas Leiden. Kemudian dibawa kembali ke Bima untuk dikaji lagi. Dan hasilnya luar biasa, terangkailah Kalimat Bahasa Bima dengan aksaranya A sampai Z. Aksara Bima baru dapat dideklarasikan pada tahun 2007 pada acara penutupan Simposium Internasional Penaskahan Nusantara XI yang dilaksanakan di Bima. Kini Aksara Bima telah dimanfaatkan sebagai bahan muatan lokal untuk sekolah-sekolah di kabupaten maupun Kota Bima serta untuk kalangan umum.

@saveBima
( berbagai sumber )

Senin, 09 Mei 2011

#saveBiMa: Objek wisata DIWU WAU

#saveBiMa: Objek wisata DIWU WAU

Wisata sejarah ke situs wadu pa’a


Sekitar akhir abad ke-19 beberapa peninggalan Hindu banyak ditemukan di pulau Sumbawa bagian Timur. Hal ini diungkapkan oleh Rouffar pada tahun 1910. Situs seperti Ganesha dan Mahakala, Lingga, Prasasti banyak ditemukan di Bima dan sekitarnya bahkan sampai sekarang. Salah satunya adalah Situs Wadu Pa’a. Dalam buku Legenda Tanah Bima yang ditulis Alan Malingi, diceritakan bahwa pada saat Sang Bima hendak meninggalkan Bima, dia didatangi oleh Para Ncuhi (Kepala Suku) untuk dimintai kesediaan menjadi pemimpin tanah Bima. Pada saat itu, Sang Bima sedang memahat tebing di mulut Kota Bima,tepatnya di Kaki Bukit Lembo dusun Sowa Desa Kananta kecamatan Soromandi. Mengunjungi Situs ini dapat dilakukan melalui jalan darat maupun lewat Jalur laut dengan menaiki Motor Boat yang memakan waktu sekitar 1 Jam perjalanan.
Dalam berbagai literature sejarah, Situs Wadu Pa’a (Batu Pahat) merupakan salah satu situs Candi Tebing yang memiliki nilai histrois yang cukup tinggi.Wadu Pa’a merupakan tempat pemujaan agama Budha, atau mengandung unsure Budha dan Siwa. Hal itu diperkuat dengan ditemukannnya Relief Ganesha, Mahaguru, Lingga-Yoni, relief Budha(Bumi Sparsa Mudra), termasuk stupa yang menyerupai bentuk stupa Goa Gajah bali atau stupa-stupa di Candi Borobudur yang berasal dari abad X. Hal itu didukung dengan terteranya Candrasangkala pada prasasti yang berbunyi Saka Waisaka Purnamasidi atau tahun 631 Caka yang disesuaikan dengan tahun 709 Masehi.
Keberadaan situs ini terlindung oleh tiupan angin dan gelombang laut.Para sejarahwan dan arkeolog menduga bahwa tempat ini merupakan tempat persinggahan para pelaut dan pendatang.Hal itu diperkuat dengan ditemukannya mata air tawar sekitar 100 meter dari Situs Wadu Pa’a yang dalam aliran Hindu disebut Amarta (Mata Air Kehidupan). Roufffer dalam bukunya Hindoejavansch Overblijfselenop Soembawa, Tisjh Vanhetkon.Ned.Aardrijskunding Genootschap, tahun 1938 menceritakan kunjungannya di pulau Sumbawa terutama ke situs Wadu Pa’a bahwa dia masih menemukan dua Lingga di tempat itu dan salah satunya telah dibawa oleh Controller Belanda. Di Situs ini juga ditemukan coretan-coretan dengan cat minyak yang menjadi bukti bahwa situs ini memang telah banyak dikunjungi oleh para pendatang terutama dari Negara Eropa. Cat Minyak tertua menunjukkan angka-angka 1773,1745,1749,1751,1736,1784,1788 dan banyak lagi yang lainnya.
Menurut Muslimin Hamzah dalam bukunya Ensiklopedia Bima halaman 215, Situ ini trdiri dari dua tempat. Di tempat I terdapat relief stupa seperti stupa yang memakai Catra(Payung) bersusun dua dan stupa catra tunggal, relief stupa bercabang tiga, relief Mahaguru,Ganesha,Arca sebatas Dada, selain relief Budha dengan sikap duduk bersila diatas bunga Padma bertangkai, berikut pahatan prasasti. Dibawah Agastya tampak juga pahatan berbentuk Linggo- Yoni. Sementara itu di tempat II yang berjarak 200 meter dari tempat I, terdapat deretan stupa yang memakai paying yang alasnya meyerupai bentuk persegi maupun silinder dan relief berbentuk pilar mendominasi lokasi.
Situs Wadu Pa’a merupakan salah satu bukti sejarah bahwa Bima merupakan sebuah kerajaan Besar yang berpengaruh di masa lalu.Keadaan dan kondisi situs ini cukup memprihatinkan. Sebenarnya keberadaan Wadu Pa’a, Benteng Asa Kota dan Teluk Bima yang indah itu merupakan asset dan titipan berharga untuk dikelola dan ditata demi memajukan pariwisata yang bermuara pada peningkatan PAD Daerah maupun kesejahteraan masyarakat. Karena sector Pariwisata telah terbukti memberikan efek Domino terhadap perkembangan usaha dan kesejahteraan masyarakat (Sumber : M.hilir Ismail, Muslimin Hamzah)